Dalam suatu sesi kunjungan ke Program Studi Agroteknologi sekaligus memberikan kuliah umum kepada mahasiswa dan dosen akhir bulan November 2016 lalu, Dr. Sarwo Edhy, Direktur Buah dan Florikultura, Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian Republik Indonesia memberikan gambaran pengembangan hortikultura di Indonesia.
Menurut Dr. Sarwo Edhy, arah pengembangan hortikultura di Indonesia adalah untuk mewujudkan kemandirian hortikultura yang berkelanjutan, bermutu, dan berdaya saing. Beliau juga menyampaikan lima isu strategis dalam lima tahun ke depan di bidang pertanian, yaitu (1) Kecukupan produksi komoditas strategis (padi, jagung, kedelai, tebu, sapi, cabai dan bawang merah) serta pengurangan kebergantungan kepada impor), (2) Peningkatan daya saing produk di dalam negeri / partisipasi pasar bebas AEC (ASEAN Economic Community 2015), Indonesia sebagai target pasar, (3) Pemantapan dan peningkatan daya saing produk pertanian di dunia internasional, (4) Diversifikasi pangan untuk mengurangi konsumsi beras dan tepung terigu, (5) Peningkatan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan petani.
Terkait strategi pengembangan hortikultura, khususnya buah-buahan, Dr. Sarwo Edhy juga mengungkapkan mengenai target produksi buah nasional pada tahun 2016 yang mencapai 20,1 juta ton. Dari angka tersebut, 19,7 juta ton digunakan untuk memasok kebutuhan pasar domestik, sementara 15%-nya atau 300 ribu ton untuk kebutuhan ekspor. Negara tujuan ekspor produk buah-buahan dari Indonesia adalah Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, Vietnam, Jepang, Korea, Australia, China, India, Uni Emirat Arab, Bahrain, Qatar, Kuwait, Mesir, AS, Jerman, Belanda, Kanada, dan Rusia. Untuk memenuhi target ini, perlu kerja sama antara kementerian pertanian, perguruan tinggi, dan pihak swasta (Gambar 1).
Gambar 1. Strategi Pengembangan Buah (Edhy, 2016) |
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Sarwo Edhy juga mengungkapkan keprihatinannya mengenai kondisi hortikultura di tanah air. Secara ekonomi, pengembangan hortikultura di Indonesia lebih menguntungkan pedagang dibanding petani. Sebagai contoh adalah perbandingan harga cabai besar di tingkat petani, pasar induk, dan pasar ecerah di wilayah Jakarta pada periode 2015 sampai 2016. Margin keuntungan di tingkat petani terhadap BEP adalah Rp 6.561, sementara marjin pasar induk mencapai Rp 7.876, dan marjn pasar eceran mencapai Rp 12.150. BEP cabai besar adalah Rp 10.322 per kg. Dari data tersebut terlihat bahwa keuntungan tingginya harga cabai besar sebagian besar justru dinikmati oleh pedagang, bukan petani.
Begitu pula untuk komoditas bawang merah. Marjin keuntungan di tingkat petani terhadap BEP adalah Rp 5.093, sementara marjin pasar induk mencapai Rp 4.974, dan marjn pasar eceran mencapai Rp 10.149. BEP bawang merah di wilayah sentra bawang Brebes adalah Rp 12.400 per kg. Data ini juga membuktikan bahwa keuntungan banyak dinikmati para pedagang.
Kepada civitas akademika PS Agroteknologi, Pejabat Eselon II Kementerian Pertanian ini juga memberikan gambaran mengenai peluang ekonomi pengembangan buah-buahan dan florikultura. Sebagai contoh adalah mangga gedong gincu. Berdasarkan analisis usaha tani/hektar, keuntungan budidaya tanaman mangga gedong gincu diperkirakan dapat meraup keuntungan hingga 270 juta (Tabel 1). Untuk tanaman bunga, misalnya krisan, berdasarkan analisis usaha tani per 1000 m2, pendapatan yang dapat diperoleh petani krisan mencapai 168 juta/ tahun dengan keuntungan yang diperoleh mencapai 29,5 juta (Tabel 2).
Dengan dibukanya wawasan mengenai peluang dan tantangan pengembangan tanaman hortikultura di Indonesia, Dr. Sarwo Edhy berharap civitas akademika PS Agroteknologi dapat berkontribusi lebih jauh sehingga ke depannya pengembangan tanaman buah dan florikultura di Indonesia menjadi lebih baik lagi (snh).
Keterangan Tabel analisis 1 & 2